mailonpix.com
Pulauku Review
Affiliate Programs
Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net

frontmenu

Links


Masukkan Code ini K1-EDA1F5-D
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

sponsorbanner

Powered by Blogger.
Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
Saturday 14 February 2009

Nenek Moyangku Seorang Pelaut


Bagi orang Kepulauan Tukang Besi, pelayaran ke seantero Nusantara, Singapura, Malaysia, Deli, Filipina Selatan dianggap sebagai rutinitas biasa. Bahkan mereka ada yang sampai di perairan Australiua Utara, Pakistan. dan Kepulauan Palau di sebelah timur Filipina dengan hanya menggunakan perahu layar tradisional yang disebut lambo. Jaringan dan peran serta mereka dalam dunia pelayaran niaga, sejauh yang dapat dilacak, mulai tampak sejak abad terakhir masa kurun niaga yang mula-mula dipelopori oleh orang-orang Binongko kemudian disusul oleh pulau-pulau lainnya. Ada tiga keunggulan utama yang dimiliki oleh pelayar-pelayar Kepulauan Tukang Besi dan dua peran serta yang dimainkan, yaitu kemahiran membuat perahu layar tradisional, keberanian berlayar di alam bebas yang ganas dan penuh misteri, dan kemampuan menerima perkembangan teknologi pelayaran, serta peranserta mereka untuk ikut menyebarluaskan Islam dan kebudayaan melalui jalur pelayaran dan perdagangan dan ikut membantu perjuangan untuk mencapai dan mempertahankan kemerdekaan. Sumber Media Kita dari Key Maluku Tenggara pada tanggal 7 Mei 1990 melaporkan bahwa orang-orang Binongko sejak abad ke-17 telah sampai di Maluku. Di Kepulauan Key Maluku Tenggara itu mereka berhasil mendirikan sebuah kampung kecil yang dinamakan Kampung Tamu. Perahu lambo pertama yang berhasil mereka buat di kampung itu diberi nama PL Montoroso yang dalam bahasa Kaumbeda berarti “awak perahu pemberani dan bertanggung jawab” (Hasan, Media Kita, No. 57/Thn XXI/1990: 2). Ligtvoet (1877) dalam Pim Schoorl (2003 : 108) menjelaskan bahwa menurut Speelman, pada zamannya Pulau Binongko terkenal karena perahu yang dibuat disana yang sering dipersenjatai dengan sepasang lela dan beberapa senapan. Selanjutnya Pim Schoorl (2003: 108-109) menjelaskan bahwa di dalam Militari Memori (1919) dilaporkan bahwa dari sekitar 300 perahu yang dipergunakan untuk pelayaran jarak jauh yang ada di Buton, ada sekitar 200 perahu terdapat di Kepulauan Tukang Besi.
Pada awal abad ke-18, di Pulau Binongko terdapat seorang juragan terkenal bernama La Nina alias Wa Ama Taangi yang lahir pada tahun 1711 dan meninggal di Latuhari Kepulauan Key Maluku Tenggara pada tahun 1787. Ia berhasil melintasi Kepulauan Nusa Tenggara dan sampai ke Maluku. Ia memiliki kader-kader pelayar ulung seperti La Biddae (1770-1823), La Kaga (1776-1836) dan La Sida (1862-1919). (Hasan, Media Kita, No. 44/Thn XIX/1989: 6).
Hasil penelitian Firmansyah pada bulan Mei 2006 tentang Persepsi Masyarakat Muslim Maluku Terhadap Pejuang Kapitan Pattimura yang berhasil mewawancarai 12 orang keturunan Pattimura, menyimpulkan bahwa Kapitan Pattimura adalah seorang pelarian dari Perang Waloindi II di Binongko yang kalah setelah memberontak kepada Buton dan Belanda pada awal abad ke-19. Penggantinya yang bernama Kapitan Ulupaha adalah bekas Raja Kaledupa yang ikut bersama Pattimura ke Ambon. Di kalangan masyarakat Maluku dan Kepulauan Tukang Besi tidak merasa asing jika mendengar syair lagu berikut :

”kole kole arumbae kole raja pati tana bara”

Syair di atas menunjukan bahwa ada seorang raja bernama pati yang datang dari barat dengan menggunakan sebuah perahu tradisional yang mereka sebut kole. Diduga bahwa raja pati yang dimaksudkan dalam syair itu adalah Pattimura. Tentunya dia adalah seorang pelayar yang paham tentang navigasi pelayaran tradisional karena kehadirannya di Ambon menggunakan perahu kole. Pada akhir abad ke-19, dua orang pelayar ulung bersaudara asal Tomia masing-masing bernama Ua Senge dan Ua Kamu berhasil mendirikan sebuah kampung di Johor yang bernama Kampung Sungai Karang. Mereka sangat populer karena, selain berdagang, juga menjadi guru pencak silat balabba yang sangat terkenal di kalangan pelayar-pelayar Buton. Pencak silat balabba ini kemudian menjadi tradisi yang dipertontonkan di kalangan masyarakat Tomia pada setiap selesai Hari Raya Idul Adha.Pada tahun 1900, ada sembilan orang pemuda asal Binongko berhasil merantau ke Digus dan Davao Mindanao Filipina Selatan. Tidak lama kemudian, yaitu pada tahun 1901, ada empat orang pelayar Binongko berhasil menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekkah dengan menggunakan perahu lambo. Mereka berlabuh di salah satu pelabuhan di Pakistan kemudian menyebrang ke tanah suci Mekkah lewat darat.. Mereka kemudian dikenal dengan sebutan Haji Hohaa (Haji Empat Orang) (Hasan, Media Kita No. 44/Thn XIX/1989: 6). Mereka adalah La Samuraa (H. Shiddiq), La Muru (H. Thayeb), La Sirau (H. Abdul Halim), dan La Ali (H. Muhammad Ali). Para pelayar Binongko yang ke tanah suci biasanya belajar agama Islam pada seorang syekh selama berpuluh tahun kemudian pulang ke kampung dan menjadi guru agama bahkan menjadi ulama besar. Mereka yang cukup terkenal adalah H. La Hidi, KH. Muhammad Tahir yang menjadi penyebar Islam dan dikeramatkan di Pulau Tiga Salabangka Sulawesi Tengah, KH. Asy’ari yang sampai akhir hayatnya menjadi ulama dan imam Mesjid Agung Al Fatah Ambon, KH. Abdul Syukur yang menyebarkan agama Islam di Buton Barat, dan KH. Ibrahim. Pada tahun 1908, empat orang Binongko menyebrang ke kota kecil Semorset dan Kepulauan Wessel Australia bagian Utara. Mereka telah beranak cucu di sana (Hasan, Media Kita, No. 44/Thn.XIX/1989 : 6). Pada tahun 1960-an sebuah perahu asal Tomia yang dinakhodai oleh La Ida berhasil berlabuh di Kepulauan Palau, sebuah negera kecil di Lautan Teduh sebelah timur Filipina. Cuplikan peristiwa yang dikemukakan di atas hanya sebagian kecil saja dari sekian banyak peristiwa yang mereka lakoni yang terekam dalam ingatan anak cucu mereka karena tidak meninggalkan catatan perjalanan sebagaimana dilakukan oleh pelayar-pelayar Eropa. Pas jalan yang mereka gunakan untuk bahan laporan kepada setiap kepala desa atau kepala kampung yang mereka singgahi tidak tersimpan dengan baik bahkan dibiarkan rusak begitu saja. Akan tetapi penjelasan di atas sudah cukup meyakinkan kita dan menjadi rujukan untuk suatu pernyataan bahwa memang mereka adalah pelayar-pelayar ulung yang sangat berani dan menjadi tulang punggung dalam struktur pelayaran tradisional orang Buton. Peran mereka sebenarnya tidak hanya terbatas dalam aktivitas perdagangan dan menyebarkan agama Islam melainkan juga menyebarluaskan kebudayaan. Dalam aspek bahasa, tampak dalam setiap transaksi perdagangan di pasar-pasar atau di pelabuhan selalu menggunakan bahasa Melayu, Tradisi pencak silat yang dilakukan pada setiap selesai Hari Raya Idul Adha menampilkan tradisi pencak silat dari Maluku yang dinamakan makanjara dan tradsisi pencak silat dari Malaysia yang dinamakan balabba. Berbagai macam tarian, nyanyian, dan kesenian lainnya menunjukan variasi pengaruh dari luar karena kontak perdagangan. Misalnya tari balumpa dari Melayu, kadayo dan joge dari Jawa, sajo moane dan sajo wowine mendapat pengaruh dari Makassar, dan badenda dari Maluku. Berbagai jenis makanan, pakaian, alat-alat rumah tangga dan perkakas lainnya diperkenalkan kepada masyarakat yang mereka kunjungi. Mereka mensuplai bahan makanan dan kebutuhan lainnya ke daerah-daerah minus dan terisolasi. Tak dapat dipungkiri bahwa siapa saja yang ingin melakukan perjalanan antar pulau atau antar pelabuhan harus menumpang perahu lambo tanpa dibebani biaya apapun. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan para pelayar itu banyak “sanak saudara” di rantau orang. Dapat dibayangkan bagaimana besarnya peran dan kontribusi mereka dalam perjalanan antar pulau ketika transportasi laut saat itu masih sangat terbatas. Dalam masa-masa perjuangan kemerdekaan mereka menjadi armada pengangkut perbekalan dan para pejuang bahkan perlengkapan perang sekaligus menjadi matalala atau sumber informasi tentang situasi di negeri-negeri seberang yang sering dimanfaatkan oleh para pejuang kemerdekaan. Di masa pendudukan mereka dimanfaatkan oleh penguasa Jepang untuk mengangkut barang-barang kebutuhan mereka seperti aspal untuk pembangunan lapangan terbang militer di Kendari. Mereka sering pula dimanfaatkan sebagai katu yang bertugas mengantar para penguasa atau tentara Jepang dari satu pulau ke pulau lainnya. Mereka banyak yang menjadi korban pembunuhan sadis yang dilakukan oleh militer Jepang di Wangi-Wangi. Untuk menghindari kekejaman tentara Jepang itu mereka menyingkir ke Kepulauan Riau, Bangka, Belitung, dan tempat-tempat lain yang dianggap aman. Di pelabuhan Pangkal Pinang saja tidak kurang dari 100 perahu asal Kepulauan Tukang Besi mengamankan diri. Di pelabuhan tersebut terjadi sebuah peritiwa yang amat heroik dimana tiga orang juragan perahu masing-masing La Munaidi asal Tomia, serta La Goro dan La Anu masing-amsing asal Kaledupa berhasil membantu pihak tentara Indonesia untuk merebut lebih dari 30.000 pucuk senjata dari berbagai jenis di barak militer Jepang, tiga kilometer dari kota Pangkal Pinang, pada tanggal 11 September 1945. Para pelayar Kepulauan Tukang Besi menjadi sumber utama tentang informasi proklamasi, bukan hanya kepada masyarakat Kepulauan Tukang Besi melainkan kepada siapa saja yang mereka temui di pasar-pasar dan pelabuhan-pelabuhan yang mereka kunjungi. Tidak hanya itu, dalam masa revolusi fisik dan perang gerilya mereka menjadi pengangkut pasukan dan senjata seperti yang dilakukan oleh juragan La Hasuba asal Kaledupa pada tahun 1947 berhasil menyelundupkan senjata berbagai jenis dari Yogyakarta melalui pelabuhan Probolinggo Jawa Timur. Senjata untuk satu batalyon itu diselundupkan ke Sulawesi Selatan akan tetapi karena situasi disana kurang aman maka senjata itu dibawa ke Kaledupa. Ada pula yang bergabung dalam berbagai kesatuan gerilya di Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan seperti yang dilakukan oleh La Uda dan La Judah yang keduanya berasal dari Kaledupa. Sejak awal abad ke-20, pelayar-pelayar Kepulaan Tukang Besi banyak yang menjadi pebongkara (penyanggah) kopra dan cengkeh serta hasil bumi lainnya di Gresik, Surabaya, dan Probolinggo di Jawa Timur seperti H. Hamiruddin, H. Isnawi, H. Umar. H. Halim, H. Kaimuddin, La Tara Juta, H. Ali, H. Mastora, La Ade, dan La Tani. Mereka menjadi saudagar-saudagar yang cukup kaya di kota-kota itu. Dalam aspek perubahan teknologi pelayaran yang amat penting adalah kebijakan program motorisasi yang dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 1977. Jika program motorisasi itu telah mematikan pelayaran di Buton daratan, namun sebaliknya di Kepulauan Tukang Besi justru berhasil memacu dinamika pelayaran tradisional menjadi pelayaran modern. Dalam waktu tidak kurang dari 20 tahun sejak penerapan kebijakan itu, semua perahu lambo yang ada di Kepulauan Tukang Besi, terutama di Wangi-Wangi dan Tomia, sudah dilengkapi dengan mesin. Perpaduan faktor-faktor geografis terutama letak dan kodisi kepulauan serta idiologi gau satoto sebagaimana di kemukakan di atas telah melahirkan dinamika pelayaran tradisonal mereka. Dinamika itu tidak hanya berhasil memacu pertumbuhan ekonomi melainkan mengakibatkan munculnya berbagai kegiatan musiman yang dilakukan pada musim pancaroba seperti perkawinan musiman, pesta tradisional musiman, dan pembangunan fasilitas umum yang juga dilakukan secara musiman.

Sumber :Ali Hadara DINAMIKA PELAYARAN TRADISIONAL
ORANG BUTON KEPULAUAN TUKANG BESI. Universitas Haluoleo

7 komentar:

binongko said...

trims atas infonya.sebagai tambahan sejarah perantau binongko,menurut cerita orang tua dan tokoh2 adat di papua,pada tahun 1818 ada seorang binongko bernama la mura datang ke papua bersama seorang tokoh dari saparua.saya telah telusuri jejeknya dan ternyata bekas rumah dan kebunnya masih ada hingga sekarang.menurut masyarakat pula, la mura adalah seorang yang 'mosega'....yeemai na ngaa'u? kontak saya di www.togobinongko@yahoo.co.id

Unknown said...

Luar biasa , Boleh nambah yah..., Ada sebuah syair yang mengisahkan keberangkatan orang Binongko ke Maluku, " Bose kitamo Laode torato dia, torato dia di oneno nu barangkato, Mina diwali kosasafi dingkora - kora, di kora - kora kosaronnako la ode, Londe Bulafa safika nu Nabiyinto, pajala Intan safika Nu Haji Bula, Korato ikokko kolea tebae mepa , tebae mepa bete'a nukapala, kaasi lae fadu tu mappa togo kaampe - ampe sabara togo numia. By, Syamsuddin Rukuwa, ( La Samu Kuwa )Pulau Buru. dan masih banyak lagi syair2 . Mohon kontak saya di email: Srukuwa@ yahoo.co.id

Unknown said...

Asal- usul nama Binongko berasal dari Dua suku kata Yaitu: Bini = Istri dan Ongko = Nama Panggilan untuk laki- laki / Pria Orang Cina, dimana sejarahnya, penghuni pertama Pulau binongko seorang Mancuana ( Pria ) yang bermukim di daerah Patua Oihu yang berasal dari dari sawu NTT sedangakan Istrinya bernama Wa Nona mantan Istri Nakhoda kapal cina yang karam di pulau Binongko dan berhasil di selamatkan oleh sang Mancuana dengan dengan persyaratan Mancuana tersebut, yaitu meminta kepada Nakhoda untuk dihadiahkan seorang pendamping hidup.hal tersebut oleh Nahkoda cina dilaporkan kepada Raja sriwijaya dan oleh baginda Raja Menamakan pulau tersebut pulau Biongko. Oihu sendiri berasal dari bahasa Cina yang berarti aku suka kamu.

Anonymous said...

saya pingin tau sisilah kakek saya dari binongko yang bernama H.ibrahima yang tinggal di pulau sumbawa dan wafat tahun 1945 di alas sumbawa keluarga kami masi ada di binongko

Sulavoka Toruntu said...

trimakasih atas komentarnya,nanti saya coba crkan informasi silsila keluarga yang anda maksud...wassalam!!!

aluddin said...

asal usulnya desa-desa dibinongko... pingintau aja...terimakasi geger mofuru

Unknown said...

SANGATlah membantu pentyelesaiantugas hukum adat

Recent Comment

Bidvertiser

Search in the Quran
Search:
Download | Free Code
www.SearchTruth.com

Tukaran Link


Copy code dibawa, insert into your blog

Join Affiliati

Bisnis online